BAB I
PENDAHULUAN
Dalam proses interaksi antara suatu subsistem dengan
subsistem lainnya tidak ada jaminan akan selalu terjadi kesesuaian atau
kecocokan antara individu pelaksananya. Setiap saat ketegangan dapat saja
muncul, baik antar individu maupun antar kelompok dalam organisasi.
Konflik dalam kehidupan sehari hari
merupakan sesuatu hal yang mendasar dan esensial. Dalam organisasi, konflik mempunyai kekuatan yang dapat
membangun kinerja staff, karena adanya variable yang
bergerak bersamaan secara dinamis. Dalam hal ini, konflik merupakan suatu proses yang wajar
terjadi dalam suatu organisasi atau masyarakat.
Dari aspek sumber daya manusia
(SDM), dapat diidentifikasi berbagai kompleksitas. Contohnya, kompleksitas
jabatan, kompleksitas tugas, kompleksitas tanggung jawab, kompleksitas
kedudukan, kompleksitas status, kompleksitas hak, kompleksitas wewenang dan
lain-lain. Kompleksitas ini dapat merupakan sumber potensial terjadinya
konflik. Sebab, setiap manusia yang terlibat dalam organisasi, memiliki
keunikan sendiri-sendiri, berbeda latar belakang, berbeda karakter, berbeda
visi, berbeda tujuan hidup, berbeda motivasi kerja dan lain-lain.
Sebagian besar kalangan
menganggap bahwa, semua konflik yang terjadi, pasti berdampak negatif. Dalam
hal ini, konflik itu sama saja dengan kutuk. Mungkinkah efek dari konflik yang
berlaku itu justru sebaliknya, berimplikasi positif? Dalam hal ini, menjadi
berkat bagi perkembangan kepribadian setiap orang yang mengalami konflik.
Seterusnya menjadi berkat bagi perjalanan suatu organisasi, baik institusi
pemerintahan maupun perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KONFLIK
Konflik itu berasal dari bahasa Latin ‘Confligo’,
yang terdiri dari dua kata, yakni ‘con’, yang berarti bersama-sama dan ‘fligo’,
yang berarti pemogokan, penghancuran atau peremukan. Kata ini diserap oleh
bahasa Inggris (dalam, Webster, 1974 : 213), menjadi ‘Conflict’ yang
berarti a fight, struggle, a controversy, a quarrel, active opposition,
hostility (pertarungan, perebutan kekuasaan, persengketaan, perselisihan,
perlawanan yang aktif, permusuhan).
Para
ahli memberikan definisi yang berbeda tentang konflik organisasi, sesuai dengan
sudut tinjauan masing-masing. Berikut beberapa definisi konflik :
1. Sebagai Proses,
Robbins (1994 : 451) menyebut konflik as a process in which an effort is
purposely made by A to offset the efforts of B by some form of blocking that
will result in frustrating B in attaining his or her goals or furthering his or
her interests.
2. Sebagai Pertentangan,
pengertian DuBrin (1984 : 346), mengacu pada pertentangan antar individu,
kelompok atau organisasi yang dapat meningkatkan ketegangan sebagai akibat yang
saling menghalangi dalam pencapaian tujuan.
3. Sebagai Perilaku,
Tjosfold (dalam Champoux, 1996 : 295), memandang Konflik dalam organisasi
sebagai perilaku yg berlawanan dan bertentangan.
4. Sebagai Hubungan,
Martinez dan Fule (2000 : 274) menyatakan konflik adalah suatu hubungan yang
terjadi antara dua orang, kelompok, organisasi maupun golongan.
5. Sebagai Situasi,
Nelson dan Quick (1997 : 178) melihat konflik sebagai suatu situasi dimana
tujuan, sikap, emosi dan tingkah laku yang bertentangan menimbulkan oposisi dan
sengketa antara dua kelompok atau lebih.
Ada suatu kesepakatan,
bahwa konflik dilatarbelakangi oleh adanya ketidakcocokan atau perbedaan dalam
hal nilai, tujuan, status, dan budaya. Secara rinci, konflik organisasi adalah
situasi dimana terjadi pertentangan atau ketidaksesuaian antara dua orang (paling
sedikit), atau dua pihak sehingga hubungan terganggu.
B. JENIS-JENIS KONFLIK
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung
pada dasar yang digunakan untuk membuat klasifikasi. Ada yang membagi konflik
atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik, dan sebagainya.
1.
Konflik Dilihat dari Fungsi
Berdasarkan
fungsinya, Robbins (1996:430) membagi konflik menjadi dua macam, yaitu: konflik
fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Dysfunctional
Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang
mendukung pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja kelompok.
Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang merintangi pencapaian
tujuan kelompok.
Menurut Robbins,
batas yang menentukan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional sering
tidak tegas (kabur). Suatu konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok,
tetapi tidak fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat
fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang lain.
Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau disfungsional
adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja kelompok, bukan pada kinerja
individu. Jika konflik tersebut dapat meningkatkan kinerja kelompok, walaupun
kurang memuaskan bagi individu, maka konflik tersebutdikatakan fungsional.
Demikian sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja,
tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut disfungsional.
2. Konflik Dilihat dari Pihak yang Terlibat di
Dalamnya
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik, Stoner dan Freeman
(1989:393) membagi konflik menjadi enam macam, yaitu:
- Konflik dalam diri individu (conflict within the individual). Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi batas kemampuannya.
- Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara individu yang satu dengan individu yang lain.
- Konflik antara individu dan kelompok (conflict among individuals and groups). Terjadi jika individu gagal menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia bekerja.
- Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict among groups in the same organization). Konflik ini terjadi karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
- Konflik antar organisasi (conflict among organizations). Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya. Misalnya, dalam perebutan sumberdaya yang sama.
- Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis.
3. Konflik Dilihat dari Posisi Seseorang dalam
Struktur Organisasi
Winardi (1992:174) membagi konflik menjadi empat macam, dilihat dari posisi
seseorang dalam struktur organisasi. Keempat jenis konflik tersebut adalah
sebagai berikut:
- Konflik vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan yang memiliki kedudukan yang tidak sama dalam organisasi. Misalnya, antara atasan dan bawahan.
- Konflik horizontal, yaitu konflik yang terjandi antara mereka yang memiliki kedudukan yang sama atau setingkat dalam organisasi. Misalnya, konflik antar karyawan, atau antar departemen yang setingkat.
- Konflik garis-staf, yaitu konflik yang terjadi antara karyawan lini yang biasanya memegang posisi komando, dengan pejabat staf yang biasanya berfungsi sebagai penasehat dalam organisasi.
- Konflik peran, yaitu konflik yang terjadi karena seseorang mengemban lebih dari satu peran yang saling bertentangan. Di samping klasifikasi tersebut di atas, ada juga klasifikasi lain, misalnya yang dikemukakan oleh Schermerhorn, et al. (1982), yang membagi konflik atas: substantive conflict, emotional conflict, constructive conflict, dan destructive conflict.
Sutau konflik terjadi karena adanya penyebab atau
sumber konflik. Penyebab – penyebab konflik antara lain :
- Komunikasi, salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
- Struktur, pertarungan kekuasaaan antar departemen dengan kepentingan–kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya–sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok– kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
- Pribadi, ketidaksesuaian tujuan atau nilai–nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai – nilai persepsi.
Dalam
suatu organisasi, terjadinya konflik tidak dapat dihindari. Penyebab terjadinya
konflik dalam organisasi, antara lain :
- Koordinasi kerja yang tidak dilakukan.
- Ketergantungan dalam pelaksanaan tugas.
- Tugas yang tidak jelas (tidak ada deskripsi jabatan).
- Perbedaan dalam otorisasi pekerjaan.
- Perbedaan dalam memahami tujuan organisasi.
- Perbedaan persepsi.
- Sistem kompetensi insentif (reward).
- Strategi pemotivasian tidak tepat.
Konflik dalam suatu organisasi harus segera ditangani karena jika tidak, mungkin dapat membahayakan organisasi tersebut. Berikut ini lima gaya penanganan konflik (five conflict-handling styles) dari Kreitner dan Kinicki:
- Integrating (Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.
- Obliging (Smoothing). Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
- Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
- Avoiding. Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
- Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
BAB III
PENUTUP
Konflik adalah suatu proses yang bermula dari konflik laten
(terpendam). Jika tidak diselesaikan akan berkembang dan membahayakan
organisasi. Kemudian, konflik juga adalah suatu perilaku beroposisi. Artinya,
orang yang terlibat konflik akan melakukan hal-hal yang menentang atau menghalangi
usaha lawan. Terakhir, konflik adalah suatu hubungan yang selalu terjadi pada
setiap manusia selama dia melakukan hubungan. Dalam organisasi
terdapat berbagai macam konflik. Konflik dibagi atas dasar
fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. Beberapa jenis
konflik tersebut memiliki faktor-faktor penyebab yang disebut sumber konflik.
Pandangan yang berbeda terhadap konflik
beranggapan bahwa konflik tidak mungkin dihindari. Semua bentuk ketidak -
setujuan mengandung konflik, namun hal itu tidak perlu menimbulkan pertengkaran
yang hebat. Para pimpinan yang setuju dengan pandangan ini berpendapat bahwa
jika pihak-pihak yang berkonflik bersikap dewasa dan percaya diri, maka apapun
masalah yang menjadi sumber konflik akan dapat diselesaikan dengan baik. Mereka
ini percaya bahwa kinerja organisasi yang optimal memerlukan tingkat konflik
yang optimal atau moderat. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan
perubahan, dan perhatian tidak terfokus pada masalah. Karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana mengelola konflik sehingga
konflik tersebut dapat dipertahankan pada tingkatan tertentu (optimal atau
moderat) sehingga menimbulkan situasi kondusif dalam organisasi. Dengan demikian kualitas pelayanan yang diinginkan dapat tercapai.
DAFTAR
PUSAKA
0 comments:
Posting Komentar